TEORI NYERI
1.DEFINISI NYERI
Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang dan ekstensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya (Tamsuri, 2007). Nyeri, sakit, dolor (Latin) atau pain (Inggris) adalah kata-kata yang artinya bernada negatif; menimbulkan perasaan dan reaksi yang kurang menyenangkan. Walaupun demikian,kita semua menyadari bahwa rasa sakit kerapkali berguna,antara lain sebagai tanda bahaya; tanda bahwa ada perubahan yang kurang baik di dalam diri manusia.
Menurut International Association for Study of Pain (IASP), nyeri adalah sensori subyektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang didapat terkait dengan kerusakan jaringan aktual maupun potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan.
2.FISIOLOGI NYERI
Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secara potensial merusak. Reseptor nyeri disebut juga nociceptor , secara anatomis reseptor nyeri (nociceptor) ada yang bermielien dan ada juga yang tidak bermielin dari syaraf perifer.
Berdasarkan letaknya, nociceptor dapat dikelompokkan dalam beberapa bagaian tubuh yaitu pada kulit (Kutaneus), somatik dalam (deep somatic), dan pada daerah viseral, karena letaknya yang berbeda-beda inilah, nyeri yang timbul juga memiliki sensasi yang berbeda.
Nociceptor kutaneus berasal dari kulit dan sub kutan, nyeri yang berasal dari daerah ini biasanya mudah untuk dialokasi dan didefinisikan. Reseptor jaringan kulit (kutaneus) terbagi dalam dua komponen yaitu :
a. Reseptor A delta
Merupakan serabut komponen cepat (kecepatan tranmisi 6-30 m/det) yang memungkinkan timbulnya nyeri tajam yang akan cepat hilang apabila penyebab nyeri tersebut dihilangkan.
b. Serabut C
Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0,5 m/det) yang terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat tumpul dan sulit dilokalisasi.
Struktur reseptor nyeri somatik dalam meliputi reseptor nyeri yang terdapat pada tulang, pembuluh darah, syaraf, otot, dan jaringan penyangga lainnya. Karena struktur reseptornya komplek, nyeri yang timbul merupakan nyeri yang tumpul dan sulit dilokalisasi. Reseptor nyeri jenis ketiga adalah reseptor viseral, reseptor ini meliputi organ-organ viseral seperti jantung, hati, usus, ginjal dan sebagainya. Nyeri yang timbul pada reseptor ini biasanya tidak sensitif terhadap pemotongan organ, tetapi sangat sensitif terhadap penekanan, iskemia dan inflamasi.
3.TEORI PENGONTROL NYERI (GATE CONTROL THEORI )
Terdapat berbagai teori yang berusaha menggambarkan bagaimana nosireseptor/reseptor nyeri dapat menghasilkan rangsang nyeri. Sampai saat ini dikenal berbagai teori yang mencoba menjelaskan bagaimana nyeri dapat timbul, namun teori gerbang kendali nyeri dianggap paling relevan (Tamsuri, 2007)
Teori gate control dari Melzack dan Wall (1965) mengusulkan bahwa impuls nyeri dapat diatur atau dihambat oleh mekanisme pertahanan di sepanjang sistem saraf pusat. Teori ini mengatakan bahwa impuls nyeri dihantarkan saat sebuah pertahanan dibuka dan impuls dihambat saat sebuah pertahanan tertutup. Upaya menutup pertahanan tersebut merupakan dasar teori menghilangkan nyeri.
Suatu keseimbangan aktivitas dari neuron sensori dan serabut kontrol desenden dari otak mengatur proses pertahanan. Neuron delta-A dan C melepaskan substansi C melepaskan substansi P untuk mentranmisi impuls melalui mekanisme pertahanan. Selain itu, terdapat mekanoreseptor, neuron beta-A yang lebih tebal, yang lebih cepat yang melepaskan neurotransmiter penghambat. Apabila masukan yang dominan berasal dari serabut beta-A, maka akan menutup mekanisme pertahanan. Diyakini mekanisme penutupan ini dapat terlihat saat seorang terapis menggosok punggung klien dengan lembut. Pesan yang dihasilkan akan menstimulasi mekanoreseptor, apabila masukan yang dominan berasal dari serabut delta A dan serabut C, maka akan membuka pertahanan tersebut dan klien mempersepsikan sensasi nyeri. Bahkan jika impuls nyeri dihantarkan ke otak, terdapat pusat kortek yang lebih tinggi di otak yang memodifikasi nyeri. Alur saraf desenden melepaskan opiat endogen, seperti endorfin dan dinorfin, suatu pembunuh nyeri alami yang berasal dari tubuh. Neuromedulator ini menutup mekanisme pertahanan dengan menghambat pelepasan substansi P. tehnik distraksi, konseling dan pemberian plasebo merupakan upaya untuk melepaskan endorfin (Potter, 2005).
Respon fisiologis terhadap nyeri
1) Stimulasi Simpatik:(nyeri ringan, moderat, dan superficial)
a) Dilatasi saluran bronkhial dan peningkatan respirasi rate
b) Peningkatan heart rate
c) Vasokonstriksi perifer, peningkatan BP
d) Peningkatan nilai gula darah
e) Diaphoresis
f) Peningkatan kekuatan otot
g) Dilatasi pupil
h) Penurunan motilitas GI
2) Stimulus Parasimpatik (nyeri berat dan dalam)
a) Muka pucat
b) Otot mengeras
c) Penurunan Hearth Rate dan Blood Pressure
d) Nafas cepat dan irreguler
e) Nausea dan vomitus
f) Kelelahan dan keletihan
Meinhart & McCaffery mendiskripsikan 3 fase pengalaman nyeri:
1) Fase antisipasi (terjadi sebelum nyeri diterima)
Pada fase ini memungkinkan seseorang belajar tentang nyeri dan upaya untuk menghilangkan nyeri tersebut. Peran fisioterapi dalam fase ini sangat penting, terutama dalam memberikan informasi pada klien.
2) Fase sensasi (terjadi saat nyeri terasa)
Fase ini terjadi ketika klien merasakan nyeri. karena nyeri itu bersifat subyektif, maka tiap orang dalam menyikapi nyeri juga berbeda-beda. Toleransi terhadap nyeri juga akan berbeda antara satu orang dengan orang lain. orang yang mempunyai tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri tidak akan mengeluh nyeri dengan stimulus kecil, sebaliknya orang yang toleransi terhadap nyerinya rendah akan mudah merasa nyeri dengan stimulus nyeri kecil. Klien dengan tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri mampu menahan nyeri tanpa bantuan, sebaliknya orang yang toleransi terhadap nyerinya rendah sudah mencari upaya mencegah nyeri, sebelum nyeri datang.
Keberadaan enkefalin dan endorfin membantu menjelaskan bagaimana orang yang berbeda merasakan tingkat nyeri dari stimulus yang sama. Kadar endorfin berbeda tiap individu, individu dengan endorfin tinggi sedikit merasakan nyeri dan individu dengan sedikit endorfin merasakan nyeri lebih besar. Klien bisa mengungkapkan nyerinya dengan berbagai jalan, mulai dari ekspresi wajah, vokalisasi dan gerakan tubuh. Ekspresi yang ditunjukan klien itulah yang digunakan fisioterapi untuk mengenali pola perilaku yang menunjukkan nyeri. Fisioterapi harus melakukan pengkajian secara teliti apabila klien sedikit mengekspresikan nyerinya, karena belum tentu orang yang tidak mengekspresikan nyeri itu tidak mengalami nyeri. Kasus-kasus seperti itu tentunya membutuhkan bantuan fisioterapi untuk membantu klien mengkomunikasikan nyeri secara efektif.
3) Fase akibat (terjadi ketika nyeri berkurang atau berhenti)
Fase ini terjadi saat nyeri sudah berkurang atau hilang. Pada fase ini klien masih membutuhkan kontrol dari fisioterapi, karena nyeri bersifat krisis, sehingga dimungkinkan klien mengalami gejala sisa pasca nyeri. Apabila klien mengalami episode nyeri berulang, maka respon akibat (aftermath) dapat menjadi masalah kesehatan yang berat. Fisioterapi berperan dalam membantu memperoleh kontrol diri untuk meminimalkan rasa takut akan kemungkinan nyeri berulang.
MODULASI NYERI
Nyeri merupakan gejala yang mendorong seseorang mencari pertolongan pelayanan kesehatan termasuk fisioterapis. Untuk itu, fisioterapis perlu memahami mekanisme bagaimana nyeri tersebut dihilangkan atau dikurangi, dengan kata lain bagaimana memodulasi nyeri. Modulasi nyeri sendiri dapat terjadi diperifer, daerah dimana awal rangsangan nyeri terjadi, dan disepanjang sistem syaraf sensorik saat transmisi impuls nyeri berlangsung dan sampai di sentral.
Tubuh kita kaya dengan serabut-serabut syaraf yang hanya berfungsi untuk mentransmisikan berbagai informasi dari dan ke sistem syaraf pusat. Adanya picuan nyeri fisik atau kimiawi pada awalnya diterima oleh reseptor khusus nociceptor yang diikuti dengan transmisi nyeri disepanjang syaraf sensorik. Bila nociceptor perifer disensitisasi, respon nyeri terhadap stimulus sakit ditingkatkan. Fenomena ini disebut hiperalgesia. Di perifer, kepekaan nociceptor terhadap stimulus yang menyakitkan makin meningkat oleh adanya prostaglandin, bradikinin, histamine dan lainnya. Dengan demikian mekanisme modulasi nyeri di perifer adalah berawal dari adanya sensitisasi ujung syaraf oleh mediator prostaglandin yang terbentuk akibat cedera jaringan. Memang benar, hasil penelitian menunjukkan adanya peran sentral bradikinin (dibebaskan dari plasma darah) dan sitokin (dibebaskan dari jaringan dan sel-sel) dalam kejadian nyeri inflamasi.Selanjutnya akan mensensitisasi nocicieptor perifer yang ditandai dengan timbulnya rasa nyeri.
Mekanisme nyeri, nyeri timbul setelah menjalani proses transduksi, transmisi, modulasi dan persepsi. Transduksi adalah rangsang nyeri diubah menjadi depolarisasi membran reseptor yang kemudian menjadi impuls saraf. Transmisi, saraf sensoris perifir yang melanjutkan rangsang ke terminal di medula spinalis disebut sebagai neuron aferen primer, jaringan saraf yang naik dari medula spinalis ke batang otak dan talamus disebut neuron penerima kedua, neuron yang menghubungkan dari talamus ke kortek serebri disebut neuron penerima ketiga. Selanjutnya modulasi,Proses dimana terjadi interaksi antara system analgesic endogen (endorphin, serotonin, noradrenalin) dengan asupan nyeri yang masuk ke kornus posterior sehingga asupan nyeri dapat ditekan. Jadi merupakan proses desendern yang dikontrol oleh otak seseorang, pada fase modulasi terdapat suatu interaksi dengan system inhibisi dari transmisi nosisepsi berupa suatu analgesic endogen. Konsep dari system ini yaitu berdasarkan dari suatu sifat, fisiologik, dan morfologi dari sirkuit yang termasuk koneksi antara periaqueductal gray matter dan nucleus raphe magnus dan formasi retikuler sekitar dan menuju ke medulla spinalis Modulasi nyeri dapat timbul di nosiseptor perifer, medula spinalis atau supraspinal. Modulasi nyeri ditentukan oleh keseimbangan antara aktivitas reseptor penghambat (inhibitory) dan pemacu (excitatory). Persepsi, nyeri sangat dipengaruhi oleh faktor subyektif, walaupun mekanismenya belum jelas. Nyeri dapat berlangsung berjam-jam sampai berhari- hari.Fase ini dimulai pada saat dimana nosiseptor telah mengirimkan sinyal pada formatio reticularis dan thalamus, sensasi nyeri memasuki pusat kesadaran dan efek. sinyal ini kemudian dilanjutkan ke area limbik. Area ini mengandung sel sel yang bisa mengatur emosi. Area ini yang akan memproses reaksi emosi terhadap suatu nyeri. Proses ini berlangsung sangat cepat sehingga suatu stimulus nyeri dapat segera menghasilkan emosi. Tahap Persepsi ini merupakan tahapan yang amat komplek. Sangat banyak faktor yang mempengaruhinya secara berkaitan.
Ada beberapa tingkat dalam susunan aferen dimana nyeri dapat dikelola atau dapat di modulasi antara lain :
a)Tingkat reseptor : Pada tingkat ini sasaran modulasi pada reseptor di perifer. Modulasi diperoleh dengan cara menurunkan ekstabilitas reseptor, menghilangkan faktor perangsang reseptor misalnya dengan memperlancar proses pembuangan iritan melalui peredaran darah (peredaran pembuluh darah menjadi lancar sehingga zat-zat penghantar nyeri yaitu Zat mediator inflamasi diantaranya adalah: bradikinin, histamin, katekolamin, sitokinin, lekotrien, prostaglandin dan substansi-P terbawa oleh aliran darah, serta menurunkan aktifitas nosisensorik misalnya dengan pemanasan.
b)Tingkat spinal : Pada tingkat ini sasaran modulasi pada substansia gelatinosa dengan tujuan memberikan inhibisi terhadap transmisi impuls nyeri. Berdasarkan teori gerbang kontrol nyeri oleh Melzack dan Wall maka untuk dapat menghilangkan atau mengurangi nyeri, substansia gelatinosa harus diaktifkan sehingga gerbang menutup, untuk dapat menutup gerbang tersebut, perlu ada stimulasi terhadap serabut berdiameter besar (A-beta) dengan rangsang non-reciceptive,Apabila serabut berukuran besar terangsang, SG menjadi aktif dan gerbang menutup, ini berarti bahwa rangsang yang menuju ke pusat melalui Transiting Cell (T-Cell) terhenti atau menurun. Serabut A-beta adalah penghantar rangsang non-nociceptif, misalnya sentuhan, propioceptif. Apabila kelompok berdiameter kecil (A-delta dan C) terangsang, SG menurun aktifitasnya sehingga gerbang membuka. A-delta dan C serabut pembawa rasa nociceptive, sehingga kalau serabut ini terangsang, gerbang akan membuka dan rangsang nyeri diteruskan ke pusat. Pada tingkat ini juga diaktifkan sistem neuron penghambat (inhibitory neuronal sistem) supraspinal dan turun ke sel-sel sensoris (dorsal horn) medulla spinalis interneuronal pool di medulla spinalis sehingga menghambat impulse serabut afferent pembawa nyeri (nociceptive) atau serabut afferent tipe A delta dan C melalui serabut afferent tipe II/III A. cara ini dapat dilakukan misalnya dengan: TENS dan manipulasi yang lembut
c)Tingkat Supraspinal : Metode ini dapat menggunakan stimulasi elektris dengan arus frekuensi rendah dan frekuensi menengah (arus interfernsi)). Pada prinsipnya akan merangsang nociceptive untuk pembebasan substance P yang bermanfaat sebagai vasodilatator pembuluh darah perifer sehingga akan terjadi perbaikan sistem vaskularisasi. Pada tingkat ini kontrol nyeri dilakukan oleh peri aquaductal gray matter (PAG) di midbrain. PAG mengirim stimulus ke nucleus rache magnus (NRM) yang selanjutnya ke tanduk belakang medulla spinalis (PHC). NRM akan menghambat aferen A delta. Selain itu NRM juga memacu timbulnya serotonin. PAG juga memodulasi nyeri memalui produksi endorfin di PHC dengan perantaraan NRM. Melalui locus ceruleus (LC) dan medial lateral pada brachial nucleus. PAG juga memodulasi nyeri dengan enkephalin di PHC. Mayer dan Price menemukan bahwa Low frequency high voltage TENS menghasilkan endorphin (endogenous morphine seperti substansia, identik dengan opium). Dengan uraian tersebut, maka modulasi nyeri pada tingkat supraspinal mempunyai 2 kemungkinan mekanisme yang terlibat, yaitu jalur endorphine dan jalur serotonin.
d)Tingkat sentral : Pada tingkat sentral ini komponen kognitif dan psikologis berperan di dalam memodulasi nyeri. Hal ini ditentukan oleh sikap seseorang terhadap nyeri dan emosi yang mengendalikan. Misal seorang tentara yang sedang berperang tidak merasa nyeri yang hebat meskipun menderita luka berat. Hal ini menunjukkan bahwa nyeri meliputi dua aspek sensoris dan aspek psikologis. Dengan demikian susunan saraf pusat juga berperan dalam memodulasi nyeri. Konsep dari system ini yaitu berdasarkan dari suatu sifat, fisiologik, dan morfologi dari sirkuit yang termasuk koneksi antara periaqueductal gray matter dan nucleus raphe magnus dan formasi retikuler sekitar dan menuju ke medulla spinalis. Sistem analgesik endogen ini memiliki kemampuan menekan input nyeri di kornu posterior dan proses desendern yang dikontrol oleh otak seseorang, kornu posterior diibaratkan sebagai pintu gerbang yang dapat tertutup adalah terbuka dalam menyalurkan input nyeri. Proses modulasi ini dipengaruhi oleh kepribadian, motivasi, pendidikan, sta tus emosional & kultur seseorang. Secara skematik proses modulasi dapat dilihat pada skema dibawah ini.
Minggu, 19 April 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar